INOVASI TEKNOLOGI DALAM BIDANG PERTANIAN UNTUK MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN

Makalah oleh: Sri Handayani dan Dimas Rahadian Aji Muhammad
Disampaikan pada Seminar Nasional : Innovation of Information, Communication, and Technology (ICT) for Supporting Sustainable Agriculture. International Association of Students in Agricultural and Related Science (IAAS LC UNS) – Solo, Tanggal 31 Januari 2011
PENDAHULUAN
            Pertanian merupakan bidang yang sangat penting untuk menunjang kehidupan umat manusia. Perkembangan pertanian diawali dari perubahan sosial yang terjadi di masyarakat prasejarah, yaitu perubahan dari budaya food gathering (berburu dan meramu) menjadi food producing (bercocok tanam). Sejak periode bercocok tanam tersebut, bidang pertanian selalu mengalami perkembangan sesuai dengan tuntutan zaman. Bahkan sejak revolusi industri di Inggris akhir abad ke-18, industri pertanian, termasuk juga industri pengolahan hasil pertanian dan industri pangan, berkembang dengan pesat.
            Perkembangan bidang pertanian yang begitu pesat, ternyata menimbulkan permasalahan tersendiri. Menurut Kasumbogo-Untung (2010), penerapan pertanian konvensional yang selama ini dilakukan antara lain:
  1. Peningkatan erosi permukaan, banjir dan tanah longsor
  2. Penurunan kesuburan tanah
  3. Hilangnya bahan organik tanah
  4. Salinasi air tanah dan irigasi serta sedimentasi tanah
  5. Peningkatan pencemaran air dan tanah akibat pupuk kimia, pestisida, limbah domestik
  6. Eutrifikasi badan air
  7. Residu pestisida dan bahan-bahan berbahaya lain di lingkungan dan makanan yang mengancam kesehatan masyarakat dan penolakan pasar
  8. Pemerosotan keanekaragaman hayati pertanian, hilangnya kearifan tradisional dan budaya tanaman lokal
Penerapan pertanian konvensional pada awalnya mampu meningkatkan produktivitas pertanian dan pangan secara nyata, sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia. Tetapi ternyata diketahui kemudian efisiensi produksi semakin lama semakin menurun karena pengaruh umpan balik berbagai dampak samping yang merugikan.
Untuk memecahkan masalah-masalah tersebut, para pakar mengeluarkan gagasan mengenai pertanian berkelanjutan. Dengan konsep pertanian berkelanjutan diharapkan sistem pertanian dapat bertahan sesuai dengan perkembangan zaman, yaitu untuk memenuhi kebutuhan manusia pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Food and Agriculture Organization (FAO) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai manajemen dan konservasi basis sumberdaya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna menjamin tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun mendatang. Pembangunan pertanian berkelanjutan menkonservasi lahan, air, sumberdaya genetik tanaman maupun hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak secara ekonomis, dan diterima secara sosial (FAO, 1989). Sedangkan Thrupp (1996) menjelaskan pertanian perkelanjutan sebagai praktek-praktek pertanian yang secara ekologi layak, secara ekonomi menguntungkan, dan secara sosial dapat dipertanggungjawabkan
Dalam pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa petanian berkelanjutan bertumpu pada 3 pilar, yaitu ekologi, ekonomi, dan sosial. Achmad-Suryana (2005) menghubungkan ketiga pilar tersebut menjadi sebuah diagram Segitiga Pilar Pertanian Berkelanjutan, seperti yang terdapat dalam Gambar 1.
Mengamati Segitiga Pilar Pertanian Berkelanjutan pada Gambar 1, sesungguhnya ada salah satu pilar yang tertinggal, yaitu Dimensi Teknologi. Teknologi mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan pertanian berkelanjutan. Teknologi berperan dalam menjaga ekologi agar dapat digunakan secara optimal pada saat ini, tetapi juga tetap memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang. Teknologi juga sangat berperan dalam Dimensi Ekonomi, terutama untuk menciptakan efisiensi produksi, serta meningkatkan nilai tambah, daya saing, dan laba hasil pertanian.
Pentingnya teknologi dalam pertanian berkelanjutan sebenarnya telah tersurat secara gamblang dalam definisi pertanian berkelanjutan menurut FAO (1989) dengan menyertakan kalimat ”…. tepat guna secara teknis….”. Oleh karena itu, makalah ini akan membicarakan lebih jauh mengenai peran teknologi dalam bidang pertanian untuk mendukung pertanian berkelanjutan, terutama dalam kaitannya dengan peningkatan nilai tambah, daya saing, dan laba hasil pertanian.
FROM FARM TO TABLE
            Untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian, teknologi diperlukan selama budidaya, penanganan pasca panen, dan pengolahan hasil pertanian. Untuk meningkatkan daya saing di mata konsumen dan laba dari produk-produk pertanian, teknologi juga diperlukan selama distribusi dan penjualan (penyajian). Dapat disimpulkan bahwa teknologi diperlukan sejak berada di lahan hingga disajikan di hadapan konsumen (from farm to table). Teknologi tersebut diperlukan untuk mendukung pelaksanaan setiap tahap farm to table, yaitu good farming practices (cara bertani yang baik), good handling practices (cara penanganan hasil panen yang baik), good manufacturing practices (cara pengolahan hasil pertanian yang baik), good distribution practices (cara pengangkutan hasil pertanian yang baik), dan good retailing practices (cara penyajian yang baik untuk konsumen).

Good Farming Practices
Pertanian berkelanjutan telah menjadi dasar penyusunan standar prosedur operasi Praktek Pertanian yang Baik (PPB) atau dikenal pula dengan istilah  Good Agricultural Practices (GAP) (Achmad-Suryana, 2005). Menurut Anonim (2004), GAP merupakan rekomendasi yang dapat digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas dan keamanan tanaman pertanian selama dibudidayakan. Dalam hal ini GAP dapat difokuskan menjadi dasar pelaksanaan Good Farming Practices (GFP). Good Farming Practices bertujuan untuk mendapatkan hasil panen yang baik atau bahan baku industri pertanian yang baik. Ciri-ciri keberhasilan Good Farming Practices adalah hasil panennya secara kuantitas (jumlah); kualitas (nilai gizi dan keamanan); serta kontinuitas (ketersediaan) dapat diandalkan.
Beberapa tahun belakangan ini, untuk mencapai tujuan Good Farming Practices dikembangkan suatu teknologi rekayasan genetika, yang dikenal dengan nama Genetic Modified Organism (GMO). Tanaman hasil rekayasa genetika terbukti mempu menghasilkan hasil panen (buah dan sayur) yang kuantitas, kualitas,  dan kontinuitasnya dapat diandalkan. Bahkan buah-buahan yang dihasilkan secara sensoris dapat memenuhi keinginan konsumen. Tetapi sampai saat ini teknologi GMO tersebut masih diperdebatkan, karena sebagian ahli pangan dan kesehatan masih mempertanyakan keamanan produk-produk hasil rekayasa genetika. Hal yang perlu digarisbawahi adalah teknologi rekayasa genetika mampu menjawab tantangan untuk memenuhi keinginan konsumen akan suatu produk pertanian. Jika masih ada yang sebagian ahli yang mempertanyakan keamanannya, maka teknologi rekayasa genetika harus terus dikembangkan untuk menghasilkan produk-produk yang aman secara meyakinkan.
Sejalan dengan konsep pertanian berkelanjutan, di dalam Good Farming Practices juga ditekankan pentingnya aspek ekologi, terutama untuk menghindari penurunan kesuburan tanah pertanian. Penggunaan pupuk kimia yang selama ini diterapkan secara nyata telah merusak ekologi tanah, sehingga semakin lama kesuburan tanah semakin berkurang. Oleh karena itu, penggunaan pupuk organik kembali digalakkan. Salah satu kelemahan pupuk organik adalah bentuk dan ukurannya yang tidak teratur, sebab terbuat dari campuran kompos, kotoran hewan ternak, dan bahan lain, sehingga menghambat penerapannya di lapangan. Di sini salah satu peran teknologi menjadi cukup menonjol. Dengan adanya inovasi teknologi, telah diciptakan instalasi mesin Pupuk Organik Granul (POG). Inovasi teknologi ini mampu menjadikan pupuk organik yang tidak bentuk dan ukurannya tidak beraturan menjadi pupuk organik yang berbentuk butiran padat dengan ukuran 2-4 mm pada tingkat kekerasan tertentu, sehingga mempermudah penggunaannya di lapangan.
Kesadaran tentang pentingnya pertanian berkelanjutan sudah menjadi trend global. Bahkan akhir-akhir ini negara-negara yang tergabung dalam Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) menyepakati untuk melakukan pembangunan sektor pertanian secara berkelanjutan. Hal itu merupakan salah satu kesepakatan yang dihasilkan dalam Pertemuan Tingkat Menteri APEC tentang Ketahanan Pangan yang pertama (The 1st APEC Ministerial Meeting On Food Security) di selenggarakan Nigata, Jepang pada 16-17 Oktober 2010.
Pada kesempatan itu disepakati deklarasi tentang ketahanan pangan di kawasan Asia Pasifik atau Nigata Declaration on APEC Food Security yang mana Indonesia berhasil memasukkan dua hal terkait upaya pencapaian Ketahanan Pangan berkelanjutan. Kedua hal itu adalah pentingnya diversifikasi pangan berbasis sumberdaya lokal dan pentingnya kerjasama regional dalam mengatasi permasalahan kerawanan pangan darurat di kawasan (Antara, 2010).
Langkah kembali kepada sumber daya lokal juga merupakan salah satu penerapan Good Farming Practices. Selama ini, akibat kebijakan era orde baru, tanaman pangan yang digalakkan untuk dibudidayakan hanya padi dan jagung. Tanaman pangan lain, seperti sagu, ketela pohon, ubi jalar, umbi-umbian seperti uwi, talas, suweg, garut, ganyong, gadung, pisang, sukun, labu kuning, dan sebagainya menjadi dianggap inferior dan dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Akibatnya, berbagai tanaman asli nusantara tersebut perlahan-lahan mulai menghilang. Padahal menurut Murdijati-Gardjito (2010a), potensi jenis pangan di Indonesia ini sangat menakjubkan, karena telah diidentifikasi, ada 77 macam tanaman sumber karbohidrat, 75 macam sumber lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 226 jenis sayuran, dan 110 jenis rempah-rempah.
Potensi yang melimpah tersebut sama sekali belum dioptimalkan oleh negara. Justru yang terjadi adalah impor bahan pangan, terutama impor tepung terigu untuk keperluan industri dalam negeri. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara pengimpor pangan terbesar no 2 di dunia dengan nilainya ± Rp 50 triliun atau setara dengan 5 milyar US Dollar (Kompas, 19/06/2010). Oleh sebab itu, alangkah baiknya apabila pertanian di Indonesia kembali membudidayakan potensi pangan nusantara. Setelah sumber daya lokal tersebut kembali digalakkan, selanjutnya inovasi dan teknologi berperan besar dalam mengolah ubi kayu, ubi jalar, dan umbi-umbian lain tersebut menjadi pangan yang setara dengan beras atau tepung terigu.
Good Handling Practices
Bahan pertanian merupakan bahan yang mudah mengalami proses kerusakan (perishable), sehingga penanganan bahan pertanian harus dilakukan dengan hati-hati. Good Handling Practices (GHP) adalah cara penanganan pascapanen yang baik yang berkaitan dengan penerapan teknologi serta cara pemanfaatan sarana dan prasarana yang digunakan. Good Handling Practices merupakan salah satu usaha untuk meminimalkan kerusakan pada bahan pertanian pasca panen. Tahapan penanganan pasca panen hasil pertanian yang sering dilakukan antara lain sortasi, pembersihan/pencucian, dan grading.  Inovasi teknologi tepat guna telah banyak diaplikasikan pada beberapa tahapan pasca panen, seperti pada proses pembersihan/pencucian dan proses grading.
Pencucian merupakan suatu upaya untuk membuang kotoran pada permukaan kulit buah atau sayuran, sekaligus dapat mengurangi residu pestisida dan hama penyakit yang terbawa, sebelum komoditi tersebut dikonsumsi atau diolah lebih lanjut. Pencucian dapat berfungsi juga untuk pre-cooling, yaitu untuk menurunkan suhu bahan pertanian, agar laju respirasi bahan pertanian tersebut semakin lambat, dan laju kerusakannya semakin lambat pula. Dalam skala industri, inovasi teknologi telah mempermudah proses pencucian buah atau sayuran ini. Hal ini terbukti dengan terciptanya alat pencuci buah atau alat pencuci sayuran. Tidak dapat dibayangkan jika tidak ada alat pencuci buah atau sayur, padahal suatu industri harus mencuci berton-ton buah atau sayur dalam sehari.
Inovasi teknologi tepat guna juga telah banyak diaplikasikan pada proses grading buah-buahan, contohnya pada buah jeruk. Jeruk dapat dipisahkan berdasarkan ukurannya dengan suatu mesin, dimana tingkat ukuran tiap grade dapat diatur. Mesin grading terdiri dari beberapa bagian yaitu hopper, meja sortasi yang terdapat lubang untuk pengeluaran, penggerak dan transmisi, serta frame. Alat grading buah jeruk ini bekerja berdasarkan prinsip gravitasi. Buah jeruk cukup dicurahkan pada hopper, selanjutnya buah menggelinding di dalam meja sortasi. Buah jeruk yang diameter vertikalnya lebih kecil dari diameter lubang, akan lolos atau jatuh akibat beratnya sendiri, sedangkan buah jeruk yang belum lolos akan menggelinding menuju lubang pengeluaran yang lebih besaur yang terdapat di bawahnya. Sekali lagi teknologi membuktikan pera strategisnya dalam bidang pertanian.
Good Manufacturing Practices
Good Manufacturing Practices (GMP), dikenal pula dengan nama Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB), merupakan sekumpulan ketentuan/pedoman untuk melaksanakan proses produksi dengan baik dan benar. Tujuan utama Good Manufacturing Practices  adalah menciptakan produk olahan secara sensoris diterima dan aman apabila dikonsumsi. Inovasi dan teknologi merupakan tulang punggung dalam untuk mencapai tujuan tersebut.
Peranan inovasi dan teknologi untuk menciptakan produk olahan yang secara sensoris diterima konsumen dapat terlihat jelas pada pengolahan produk-produk pangan lokal, seperti sagu, ketela pohon, ubi jalar, dan umbi-umbian. Tujuan inovasi pengolahan bahan lokal tersebut, terutama untuk mensejajarkan nilainya dengan beras atau tepung terigu di mata konsumen. Teknologi penepungan merupakan salah satu contoh yang baik untuk diaplikasikan pada bahan lokal. Menurut Murdijati-Gardjito (2010b), dalam bentuk tepung akan mempunyai kadar air yang lebih rendah. Selain itu, tepung lebih mudah didistribusikan, lebih awet, serta lebih luwes penggunaannya, seperti bubur, puding, kue basah, kue kering, dan berbagai macam hidangan lain.
Inovasi dan teknologi penepungan tersebut sampai sekarang masih dikembangkan oleh para peneliti dan ahli pangan di seluruh dunia. Penelitian yang masih dikembangkan antara lain penelitian mengenai tepung ubi kayu (Arye, et al., 2006; Falade, et al., 2007; Shittu, et al., 2008; Sciarini,et al., 2008; Akingbala, et al., 2009), penelitian mengenai tepung ubi jalar (Yadav, et al., 2006; Jasim-Ahmed, et al., 2006; Zaidul, et al., 2008; Krishnan, et al., 2010), penelitian mengenai tepung sagu (Purwani, et al., 2006; Wong, et al., 2007; Singhal, et al., 2008; Datu, et al., 2010), penelitian mengenai tepung pisang (Zhang, et al., 2005; Rodríguez-Ambriz, et al., 2008; Nwokocha., et al., 2009; Martinez, et al., 2009; Chong Li Choo, et al., 2010), serta penelitian mengenai umbi-umbian lainnya (Pe´rez, et al., 2005; Jaykodi, et al., 2007; Sutardi, et al., 2009). Harapannya, penelitian-penelitian tersebut dapat menghasilkan teknologi untuk memproduksi tepung secara optimal, dan selanjutnya tepung tersebut dapat diolah lebih lanjut menjadi produk yang secara sensoris dapat diterima oleh konsumen.
Peranan inovasi dan teknologi untuk menciptakan produk olahan yang aman untuk dikonsumsi juga signifikan. Inovasi tersebut diperlukan untuk menghilangkan mikroorganisme patogen atau senyawa berbahaya dalam bahan pertanian. Sejak ditemukan teknik sterilisasi dan pasteurisasi untuk menghilangkan mikrobia patogen pada produk pangan, teknologi untuk menciptakan produk yang aman terus berkembang. Tetapi teknologi yang dikembangkan masih melibatkan panas (thermal process). Kemudian, diketahui bahwa proses yang melibatkan panas dapat menurunkan nilai gizi atau mutu bahan pertanian, sehingga saat ini trend pengembangan teknologi tersebut mengarah pada proses-proses non-thermal (tidak melibatkan panas).
Salah satu contoh untuk proses non-thermal untuk menciptakan makanan yang aman dikonsumsi adalah  High Hydrostatic Pressure (HHP). HHP salah satu metode untuk mengurangi populasi mikrobia dalam pangan dengan tekanan yang tinggi tanpa penambahan panas (Cheftel, 1995). Proses ini dapat mempertahankan kualitas sensoris bahan pangan, mempertahankan kesegaran alaminya, mempertahankan nilai gizinya, serta memperpanjang umur simpan bahan pangan. Contoh aplikasi HHP pada hasil pertanian antara lain kubis (Lin Li, et al., 2010); wortel,, apel, kacang hijau (Yucel, et al., 2010); raspberry, strawberry (Palazon, et al., 2004); dan sebagainya. Bahkan HHP dapat diaplikasikan juga pada susu (Dongsheng Guan, et al., 2005); yoghurt (Penna, et al., 2007); daging (Zhou, et al., 2010); keju (Delgado, et al., 2010); dan juice (Ferrari, et al., 2010).
Selain HHP, contoh-contoh proses non-thermal yang telah ditemukan dan dapat diaplikasikan pada bidang pangan/pertanian antara lain light pulse (Barbosa, 1997); Radio Frequency Electric Fields (Gaveke, 2007); ultrasonic (Elvira, 2007); teknologi isotop dan radiasi (Anonim, 2010); HIPEF (high intensity pulsed electric field) (Morales, 2010); teknologi pasteurisasi dengan electron beam (Salengke, 2011); dan sebagainya. Selanjutnya, berbagai teknologi non-thermal tersebut diharapkan dapat dikembangkan lagi untuk menciptakan produk-produk olahan hasil pertanian yang aman dikonsumsi, dengan tetap mempertahankan nilai gizi dan mutunya.
Ketentuan Good Manufacturing Practices mulai diperkenalkan pada akhir Tahun 1980-an. Setelah itu Good Manufacturing Practices mengalami perkembangan menjadi  HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point), dan selanjutnya mengalami penyempurnaan menjadi ISO 22000:2005 tentang Sistem Manajemen Keamanan Pangan. Ketiga hal tersebut pada prinsipnya sama, yaitu untuk menciptakan dan menjamin keamanan produk pangan. Hal yang perlu ditekankan adalah ketiga pedoman tersebut tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik, tanpa dukungan teknologi.
Saat ini, indikator proses produksi yang baik oleh suatu industri ternyata bukan hanya dihasilkannya produk yang secara sensori dan keamanannya memenuhi kriteria yang diinginkan konsumen. Lebih jauh dari itu, indikator proses produksi yang baik adalah tidak adanya limbah yang ditinggalkan oleh industri tersebut (zero waste). Bahkan ada semacam kesepakatan tidak tertulis bagi orang-orang yang peduli terhadap lingkungan bahwa mereka tidak akan membeli/mengkonsumsi barang-barang yang dihasilkan suatu indsutri yang masih meninggalkan limbah dan merusak lingkungan. Tuntutan jaman seperti ini lah yang sekali lagi harus dijawab oleh inovasi teknologi. Teknologi harus terus dikembangkan untuk meminimalisir limbah yang dihasilkan dari suatu proses produksi. Jika suatu proses produksi masih menyisakan limbah, inovasi teknologi harus mampu mendaur ulang limbah tersebut menjadi produk lain yang bermanfaat. Jika limbah yang dihasilkan ternyata tidak dapat didaur ulang, maka teknologi harus dapat menangani limbah tersebut agar tidak berbahaya bagi manusia. Hal ini sesuai dengan prinsip pengelolaan limbah yang harus dilakukan secara berurutan yaitu (a) minimalisasi limbah, (b) pemanfaatan limbah, dan (c) penanganan limbah.

Good Distribution Practices
Telah disebutkan di atas, bahwa bahan pertanian mudah mengalami kerusakan. Kerusakan bahan pertanian dapat disebabkan beberapa hal yaitu kerusakan fisiologis (kerusakan yang disebabkan oleh reaksi-reaksi yang diakibatkan oleh kerja enzim), mikrobiologis (kerusakan akibat serangan mikroorganisme), mekanis (kerusakan akibat tekanan sehingga menimbulkan luka atau memar), fisis (kerusakan akibat suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah), serta khemis (kerusakan alami akibat proses pemasakan buah). Good Distribution Practices diperlukan untuk meminimalkan kerusakan selama proses distibusi.
Pada prinsipnya, produk pertanian harus sampai di tangan konsumen dalam kondisi yang baik. Proses distribusi berresiko untuk mempercepat terjadinya kerusakan, sebab kemungkinan terjadinya tekanan mekanis yang dapat menyebabkan luka atau memar sangat besar. Oleh karena itu, diperlukan berbagai inovasi bahan pengemas dan pelindung, agar produk pertanian terhindar dari sinar matahari, tekanan mekanis, pukulan, getaran, maupun benturan yang dapat menyebabkan luka dan memar selama proses distribusi.
Waktu yang dibutuhkan selama perjalanan, juga berpengaruh terhadap kerusakan bahan pertanian. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk proses distribusi, maka semakin besar juga kemungkinan terjadi penurunan mutu bahan pertanian. Hal ini disebabkan, bahan pertanian masih mengalami proses fisiologis, seperti respirasi dan transpirasi, meskipun bahan pertanian tersebut sudah lepas dari tanaman induknya (sudah dipanen) (Weichmann, 1987). Respirasi merupakan proses oksidasi substrat komplek menjadi lebih sederhana (Lambers, et al., 2005), sehingga semakin cepat respirasi akan semakin mempercepat kerusakan bahan pertanian. Kecepatan respirasi antara lain dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi O2, konsentrasi CO2, serta konsentrasi CO (Ryall dan Lipton, 1972). Berdasarkan pengertian tersebut, diperlukan inovasi dan teknologi untuk mengendalikan laju respirasi bahan pertanian selama distribusi. Inovasi teknologi mampu menjawab tantangan dengan terciptanya kontainer distribusi yang dapat diatur suhu, kelembaban udara, komposisi udara, bahkan tekanannya. Alat tersebut dikenal dengan nama Controlled Atmosphere Storage (CAS), Modified Atmosphere Storage (MAS), penyimpanan dengan pendinginan, dan penyimpanan hipobarik. Saat ini, teknologi tersebut telah digunakan secara luas karena terbukti efektif untuk mencegah kerusakan bahan pertanian selama distribusi.

Good Retailing Practices
Good Retailing Practices merupakan tahap terakhir untuk menjaga mutu produk pertanian sampai ke tangan konsumen. Saat ini tuntutan konsumen terhadap suatu barang sangat beragam. Khusus untuk produk-produk pertanian, konsumen menginginkan barang yang masih segar dan berkualitas tinggi. Padahal, lahan pertanian biasanya berada jauh dari konsumen, sehingga membutuhkan waktu untuk distribusi. Hal itu tentu saja berresiko menurunkan kesegaran dan menimbulkan kerusakan mekanis produk-produk pertanian. Dengan demikian diperlukan inovasi teknologi untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Kesegaran produk pertanian sangat dipengaruhi oleh proses transpirasi (menguapnya air dari subtrat) yang masih berlangsung, meskipun bahan pertanian tersebut telah dipanen. Proses transpirasi berlangsung terus menerus dan akan berakhir apabila substrat dan air sudah habis (Sirivatanapa, 2006), sehingga menentukan kualitas dan masa simpan bahan hasil pertanian (Tan, 2007). Menurut Ben-Yehoshua (1987), transpirasi dapat  menurunkan kualitas buah dan sayuran dengan terjadinya penurunan berat, pengkerutan, dan pelunakan. Penurunan kadar air 1-2% sudah mampu merubah kenampakan bahan pertanian, sedangkan penurunan kadar air 3-10% mengakibatkan penurunan kesegaran.
Salah satu contoh inovasi teknologi di bidang pertanian yang dapat menekan laju transpirasi tersebut adalah pelapisan lilin, sebab dengan pelapisan sebagian pori dan kulit tertutup oleh lapisan lilin. Selain itu, pengemasan lilin ternyata bermanfaat untuk menekan laju respirasi (Roosmani, 1973); memperpanjang umur simpan produk hortikultura, menutupi luka-luka goresan kecil (Pantastico, 1986); menurunkan resiko terjadinya memar dan abrasi pada permukaan buah (Buchner, et al., 2003), mencegah infeksi patogen (Loekas, 2006), sekaligus menimbulkan kesan yang lebih baik secara fisik karena lebih mengkilat (Prusky, et al., 1999). Produk pertanian yang dapat diperlakukan dengan pelapisan lilin antara lain alpukat, apel, cabai, jeruk, kentang, mangga, nanas, pepaya, pisang, starwberry, tomat, dan wortel. Hal yang perlu diperhatikan adalah pelapis lilin yang digunakan harus aman untuk dikonsumsi, mudah dibuat dan diaplikasin, serta murah harganya. Oleh karena itu, inovasi dan penelitian untuk membuat pelapis lilin produk pertanian masih terus dikembangkan.
Sementara itu, untuk mencegah kerusakan mekanis, diperlukan pengemas retail yang baik, yang mampu melindungi dari tekanan atau gesekan, sekaligus memperindah penampilan. Contoh pengemas retail yang dapat memenuhi kriteria tersebut adalah pengemas jaring-jaring polysteren pada buah apel atau pir. Pengemas retail buah apel dan pir tersebut mungkin dapat dijadikan inspirasi untuk berinovasi menciptakan pengemas-pengemas retail bagi produk pertanian lainnya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Unsoed Jalin Kerja Sama dengan Thailand